Translate

Profil

Cari Blog Ini

Kamis, 10 November 2011

PESAN KEBANGSAAN DALAM APEL PAGI 10 NOPEMBER 2011


<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE

Ribut Giyono, S.Pd., M.M.

Assalammualikum Wr. Wb.

Sering kita dengar di setiap upacara memperingati Hari Pahlawan 10 November 2011 – Inspektur Upacara menyampaikan :

“Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa Yang Sanggup Menghargai Jasa Para Pahlawannya”

Akan tetapi hal ini, di tempat ini di SMKN 2 Simpang Empat, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, saya katakaan pada kita semua, khususnya warga SMKN 2 Simpang Empat, Tanah Bumbu, bahwa BANGSA YANG BESAR tidak cukup hanya menghargai jasa para pahlawannya saja, akan tetapi ada hal lain yang juga tidak kalah pentingnya yaitu,

Bangsa yang besar jika bangsa tersebut mampu melakukan hal-hal sebagai berikut :

1. Menghargai jasa para pahlawannya;

2. Mencintai tanah airnya;

3. Mencintai bangsanya;

4. Mencintai bahasanya;

5. Mengisi kemerdekaan dalam rangka membangun peradaban dan melestarikan budaya bangsa.

Bagaimana kita sanggup mengatakan bahwa kita ini bangsa yang besar, jika pahlawan-pahlawan pejuang bangsa, tak pernah kita hargai jasanya.

Saat ini, kita jarang mendengar anak-anak kita menyebutkan nama-nama pahlawan kita, misalnya Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Din, Imam Bonjol, Hasanuddin,dll., atau bahkan para orang tua dan para guru, jarang kita dengarkan mereka bercerita tentang perjuangan-perjuangan yang di lakukan oleh para pahlawan tersebut.

Yang lebih ironis laagi di dinding-dinding kelas, kantor-kantor, atau bahkan di ruangan-ruangan, tidak lagi kita temukan foto-foto dari pahlawan-pahlawan bangsa kita.

~ Kemana Figur-Figur Mereka ? ~

Sudah hilangkah kenangan-kenangan heroik, kebangsaan, kebersamaan yang terpatri dalam jiwa-jiwa mereka ?

Lalu yang kita saksikan ternyata, gambar-gambar artis, gambar-gambar atlit olahraga, pemain bola, pemain basket, dan itupun bukan artis dan atlit-atlit bangsa Indonesia, melainkan artis dan atlit dari bangsa asing.


Bagaimana kita bisa dengan bangga menyatakan bahwa kita adalah bangsa yang besar, jika kepada tanah air kita sendiri kita tidak pernah merasa mencintai. Buktinya banyak putra / putri terbaik bangsa Indonesia, yang justru menjadi ilmuan, teknokrat di Negara lain, sebagai pekerja, pendidik, seniman, bahkan sebagai ilmuan, sementara di Negeri sendiri, masih banyak sekolah roboh, pendidikan tak terlayani dengan baik, eksploitasi alam besar-besaran dan bahkan dengan mudahnya bangsa asing bisa menjadi TUAN bagi rakyat Indonesia.

Bagaimana kita bisa dengan lantang menyatakan sebagai bangsa yang besar ? Jika ternyata kita tidak pernah merasa mencintai dan bangga sebagai bangsa Indonesia.

Kita lebih sering memuji kemakmuran dan kehebatan bangsa lain, ketimbang kita memuji dan mensyukuri kemakmuran bangsa kita.

Kita lebih bangga jika menyandang hal-hal yang berbau impor, mulai dari pakaian dalam, hingga kemewahan-kemewahan berpergian.

Kita lebih bangga pergi ke Australia, ke China, ke Hongkong, ke Singapura, ketimbang kita pergi ke Jogya, Batavia, Papua, atau ke pulau Komodo, misalnya; kita lebih bangga pakian luar negeri, ketimbang kain batik dan sasirangan.

“Sudah Hilangkah, Jiwa Kebangsaan Kita ?”

Sementara negera lain dengan bangganya mengklaim Reog, Tari Pendet, Kain Batik menjadi budaya mereka.

Bagaimana kita sanggup mengatakan sebagai “Bangsa Yang Besar?”, jika ternyata, Bahasa Indonesia kita pun, kita tidak lagi bangga untuk menggunakannya.

Sangat ironi memang ~ di beberapa bangsa di Eropa dan Asia, yang justru mengajarkan bahasa Indonesia menjadi bahasa ke dua mereka, akan tetapi di bangsa kita sendiri, seolah kita malu untuk mengucapkan percakapan dengan bahasa Indonesia.

Ada pepatah “Jika kita ingin mengusai suatu bangsa, kuasailah budayanya dan jika ingin mengusai budaya suatu bangsa, kuasailah BAHASANYA”.

Semoga dengan banyaknya bangsa-bangsa di dunia mempelajari dan berusaha mengusai bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka , bukan berarti mereka INGIN MENGUSAI BANGSA KITA…

Cukuplah 350 tahun kita di belenggu oleh Belanda dengan VOCnya, di tambah dengan pembodohan bagi bangsa kita, karena tidak dapat sekolah, jangan sampai kita mengalami hal yang sama seperti saat itu, meskipun mungkin dengan bentuk yang berbeda akan tetapi kenyataannya sama.


Walaupun kenyataanya saat ini bukan Belanda dan VOCnya yang bercokol di Negara kita, akan tetapi bangsa asing yang lain dengan system yang berbeda, akan tetapi dengan kenyataan yang SAMA.

Bagaiman kita dengan lantang mengatakan sebagai “Bangsa yang besar?”

Jika ternyata kita menjadi pemalas, konsumtif, plagiat dan sinis.

Kita bisa berjam-jam membuang-buang waktu dengan duduk santai di depan video game, di depan sinetron yang selalu penuh dengan kebohongan dan pertengkaran, menyandarkan punggung dengan mata ke langit-langit platfon, ketika sidang rakyat berlangsung, dengan santai mengatakan “Itu Kan Tugas Anda ~ Bukan Tugas Saya”

Ø Kita lebih suka membeli, menikmati, di banding kita berkreasi dan menemukan.

Ø Kita lebih suka meniru daripada memikirkan yang baru.

Ø Kita lebih suka menutup pintu, ketika melihat orang lain susah, ketimbang datang lalu turut berbela sungkawa, apalagi membantunya.

Ø Kita lebih suka memfitnah dan dengki, ketimbang kita mengakui keberhasilan orang lain.

Generasi kita akan lebih bangga seharian berkendara motor, seharian sms, seharian main video game, ketimbang duduk di Mushola/ Masjid atau ke Gereja atau duduk di pojokkan teras rumah, bergerombol, lalu berdiskusi tentang pelajaran sekolah, atau bersama-sama menyelesaikan tugas rumah, membuat sapu dari sabut kelapa atau mungkin bersama-sama membuat rekayasa keilmuan yang sering kita sebut kelompok ilmiah remaja / KIR.

Generasi kita cenderung suka menari break dance, ketimbang tari jaipong, atau giring-giring,

Generasi kita cenderung suka lagu-lagu barat, ketimbang lagu-lagu nasionalnya, bimbo, titik puspa, koes plus,dll.., apalagi lagu-lagu daerah seperti Damar Dua, Burung Pipit, Apuse, Tandu Majeng, Es Lilin, O Ina Keke,dll., tidak pernah lagi kita mendengar guru seni musik kita di sekolah berlomba-lomba mengajarkan lagu-lagu daerah bangsa kita karena bisa jadi guru-guru kita memang sudah tidak bisa lagi lagu-lagu daerah tersebut.

Sungguh ironis, kita marah ketika Reog dan Pendet di klaim milik Malaysia, tapi nyatanya kita sendiri tidak pernah mencintainya.

Mari dalam semangat hari pahlawan 10 November 2011 ini, kita sadarkan dini, sudah saatnya kita bangun dari hanya sekedar MIMPI INDAH DAN PANJANG, kenyataan di depan kita tidak hanya cukup dengan sekedar angan-angan dan banyak bicara saja.

Mari berkarya, Ibu Pertiwi menanti akan hasil dari karya budi dan karsa kita.

Walaikum Salam Wr. Wb.